TRADISI SETON SETIAP SABTU SORE DI MATARAM
SETON / SETU+AN
Dari akar kata "Setu" (maksudnya hari Sabtu) ditambah akhiran "an". Setuan atau Seton berarti kegiatan di hari Sabtu. Sebagaimana berita dari utusan Belanda yang berkunjung ke Mataram Karta juga catatan babad, ternyata Sabtu adalah hari yang khusus (disamping Senen, Kemis dan Jumangad).
Ada banyak nama kegiatan ini yaitu Seton, Sodoran atau Watangan, yaitu kegiatan latihan perang tombak yang dilakukan dengan menggunakan tongkat. Ujung tongkat biasanya diberi lapisan kain relatif tebal dan diberi hiasan. Lapisan kain di ujung tongkat (watang) diperlukan agar orang yang tersodok watang atau sodor tidak terluka.
Latihan perang tombak ini dilakukan di atas kuda dan dilakukan oleh dua orang yang saling berhadapan sambil membawa sodor di atas punggung kuda pada jarak tertentu. Setelah aba-aba, keduanya melecut kudanya dan saling berhadapan untuk saling menjatuhkan lawan dari atas punggung kudanya.
Lawan yang jatuh dari kuda oleh karena sodokan sodor dinyatakan sebagai yang kalah dan orang yang berhasil menjatuhkan dinyatakan sebagai pemenang. Untuk itulah kelihaian menunggang kuda dan bermain tongkat (sodor) yang panjangnya kurang lebih 3-3,5 meter menjadi modal utama dalam permainan ini.
Di Mataram (tradisi ini katanya telah dilakukan kerajaan lama seperti Majapahit dan diwarisi oleh kerajaan Islam, bahkan sejak Panembahan Senopati mendirikan Mataram Islam di Kotagede), acara seton merupakan acara resmi negara, dilaksanakan di Alun-Alun Utara. Pasamuan watangan adalah syarat keberadaan raja dan negara Mataram.
Pada tahun 1536 dengan sengkalan “Karengga Tri Wisiking Janma” Kanjeng Panembahan Senapati raja Mataram berkenan membuat gamelan Monggang Patalon yang berlaraskan Slendro. Digunakan sebagai gamelan kehormatan setiap keluarnya prajurit watang berlatih perang, setiap hari Sabtu. Gamelan Gangsa Patalon tersebut akhirnya bernama Kanjeng Kyai Singakrura, lalu dibuatkanlah gendhing untuk memeriahkan Watangan Seton.
Biasanya acara seton dilanjutkan dengan acara “Rampogan”. Yaitu pertunjukan adu macan (sima) dengan banteng/kerbau (mahesa) yang diadakan pada hari-hari tertentu, termasuk untuk menyambut para pembesar Belanda.
Tradisi yang menjadi salah satu sebab punahnya Harimau jawa
Rampogan Matjan adalah budaya Kediri Tempo Doeloe sekitar Tahun 1900-an.
Yakni pertunjukan menghakimi macan yang masuk rumah penduduk dan membunuh ternak dengan dilepas di arena lapangan di kelilingi masyarakat yang membawa tombak panjang.
Macan yang hendak lari keluar lapangan di tombak rame-rame hingga mati.
.
Akhirnya budaya ini dilarang oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena populasi macan yang mulai punah saat itu.
Konon kabarnya dulu Rampogan Matjan ini diadakan di Kandang Matjan Setono Betek yang sekarang sudah beralih fungsi menjadi Pasar Besar Setono Betek Kediri.
.
Sayangnya....tradisi ini bisa dikatakan juga menjadi salah satu sebab punahnya Harimau Jawa...
Dan semoga saja...meski kecil...masih ada harimau jawa yang hidup di belahan hutan liar di pulau jawa ini....
.
SETON DI KRATON MATARAM KARTA (ZAMAN SULTAN AGUNG - 1613 )
Kehidupan dalam istana berlangsung menurut aturan tertentu. Pada hari Sabtu sore mereka diwajibkan harus tampil di alun-alun dengan menaiki kuda untuk ikut serta dalam permainan tombak atau watangan. Bila tidak hadir, mereka kehilangan tikar lantai atau tanda kebesaran dan akan mendapat hukuman lain. Yang tidak hadir hampir selalu diketahui karena raja memperhatikannya dengan cermat.
SETON DI KRATON SURAKARTA
Di Solo acara seton dimulai dengan watangan dan diakhiri dengan rampogan Sima di mana prajurit Sunan dilengkapi tombak membentuk lingkaran mengelilingi Harimau dan secara bersama-sama menombak sehingga membunuh harimau tersebut.
Kadang-kadang diselenggarakan juga laga sima~maesa yaitu pertandingan harimau melawan banteng. Harimau adalah perlambang Belanda sedangkan pantai adalah perlambang pribumi Jawa. Bahkan Pakubuwana IV pernah menyelenggarakan laga ini untuk gubernur pesisir Greeve sebagai perlambang perlawanan.
Tradisi Watangan atau Seton (tradisi latihan perang setiap hari Sabtu) dihentikan pada masa pemerintahan Pakubuwono VII (1830~1858) di Surakarta.
SETON DI KRATON YOGYAKARTA
Kagungan dalem pasowanan terletak di alun-alun utara melingkar disebut Bale watangan atau pekapalan. Tempat pasowanan Abdi dalem Nayaka wolu untuk tempat menunggu saat sowan pada pasamuan watang di hari Sabtu termasuk juga semua bawahannya Abdi dalem Bupati penewu mantri, kuda para bupati Nayaka dan semua bawahannya ditempatkan di sekitar tempat Penantian atau peristirahatan masing-masing di kiri kanan ataupun depan alun-alun sehingga tempat ini dikenal sebagai pekapalan dan Pasowanan watang terkenal sebagai seton.
Di bagian Timur Selatan Tenggara alun-alun Utara terdapat Gedhong Denggung Banten, Pamonggangan yang bentuk bangunannya sama dengan Bangsal pasangan yang berjajar ke utara, hanya saja pada gedung pamonggangan akan diberi pagar bata seperti Pacikeran.
Gedhong pamonggangan ini adalah tempat gamelan Kanjeng Kyai monggang atau Kanjeng Kyai denggung Banten dipajang pada saat pasamuan watangan pada hari Sabtu atau Seton.
Ini adalah model pemimpin kepala desa atau pemimpin desa pada jaman dahulu . Pakaian resmi digunakan saat menunggang kuda senenan hingga setunan. Permainan ini lebih menunjukan tingkat loyalitas pimpinan desa kepada atasannya dan gubernur mengatakan Belanda.
Terima kasih telah membaca jangan lupa like dan share . Wawasan ini orang lain mengetahui dan mengambil positifnya dari artikel ini .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar